Perang Aceh
Perlawanan rakyat Indonesia terhadap bangsa Barat tidak dapat dihindarkan. Sejak setahun setelah kedatangan Portugis tahun 1512, Pati Unus putra mahkota Kerajaan Demak dari Jepara menyerbu Malaka. Setelah itu berturut-turut pasukan dari Aceh, Jawa dan Melayu silih berganti menyerang kedudukan Portugis di Malaka, begitu juga serangan dari Sultan Iskandar Muda sampai akhirnya Portugis dikalahkan Belanda pada abad ke-17. Sultan Baab Ullah dari Ternate juga menyerang Portugis dan terbunuh pada tahun 1570.
Para pedagang Belanda dalam upaya mempertahankan monopoli dan melarang keterlibatan baik bangsa bangsa Barat lainnya maupun para pedagang Asia dalam perdagangan rempah-rempah di kepulauan Maluku. VOC melakukan intervensi militer ke berbagai daerah yang menimbulkan banyak korban. Seperti yang dilakukan terhadap penduduk di Pulau Banda, mereka dipindahkan, diusir, disiksa dan membunuh hampir semua penduduknya dan menggantikan mereka dengan tenaga kerja budak dalam usaha mengakhiri hubungan penduduk lokal dengan para pedagang selain VOC. Kebrutalan VOC di kepulauan Maluku dalam peristiwa “pembantaian Ambon” pada tahun 1623.
Pada saat yang hampir bersamaan, kerajaan dan masyarakat di kepulauan Indonesia juga harus menghadapi tekanan tambahan seiring dengan berkembangnya keinginnan yang sama di dalam company Inggris. Inggris tidak hanya mendirikan pos-pos perdagangan di kepulauan Maluku, mereka juga mulai membangun kekuatan di Kalimantan, Sulawesi, Sumatra dan Jawa seperti Sukadana, Makasar, Aceh, Jayakarta dan Jepara antara tahun 1611-1617.
Perlawanan di Sulawesi oleh dua kerajaan lokal yaitu antara Makasar dengan Bugis yang melibatkan Sultan Hassanuddin dan Aru Palaka diakhiri dengan perjanjian Bongaya pada tahun 1667 yang isinya:
1. Makasar melepaskan Bone, Sumbawa.
2. Makasar hanya boleh berlayar dengan ijin Belanda (kompeni).
3. Makasar tertutup bagi pedagang-pedagang asing laninnya.
Di Banten terjadi perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa pada tahun 1656 dengan VOC yang berkaitan dengan konflik internal Kesultanan Banten yang melibatkan Abdul Kahar atau kemudian menjadi Sultan Haji akibat permainan taktik Belanda. Dalam waktu hampir bersamaan juga terjadi perlawanan Trunajaya di Mataram menghadapi Belanda. Sejak tahun 1741 perlawanan juga dilakukan oleh orang-orang Cina berkaitan dengan pembunuhan secara besar-besaran yang dilakuakan oleh orang Belanda bersama para budaknya dengan dukungan tentara VOC di Batavia. Dalam peristiwa ini tidak kurang dari 10.000 orang Cina yang terbunuh. Di Semarang pada bulan November 1741 sekitar 3000 orang Cina bersenjatakan 30 pucuk meriam yang didukung tidak kurang dari 30.000 orang Jawa menyerang pos-pos kedudukan Belanda terus dilakukan.
Pada abad ke-19 perlawanan terhadap pemerintahan Hindia Belanda masih terus terjadi. Perlawanan Saparua, Paderi, Diponogoro, Banjar dan Aceh dapat dikatagorikan sebagai perlawanan yang besar. Di Saparua terjadi pada tahun 1817 dibawah pimpinan Thomas Matulessy atau Patimura, seorang yang pernah berdinas sebagai tentara pada masa Inggris, akhirya dikenai hukuman gantung. Perlawanan oleh kaum Paderi tahun 1821-1837 yang dipimpin oleh Imam Bonjol terjadi di Sumatra Barat. Begitu juga perlawanan yang dilakukan oleh Pangeran Diponogoro dari Yogyakarta tahun 1825-1830 merupakan titik balik terpenting perlawanan terhadap Belanda di abad ke-19.
Ilustrasi Perang Diponogoro
Perlawanan terhadap Belanda di Banjar(Kalimantan Selatan) dibawah pimpinan Pangeran Antasari dilakukan sejak 28 April 1859 dan berakhir tahun 1905. Perlawanan ini berakibat terhadap penghapusan terhadap Kerajaan Banjar. Perlawanan rakyat Aceh antara tahun 1873-1912 yang sangat melelahkan yang menghabiskan keuangan Belanda yang disebabkan karena Aceh menolak kedaulatan Belanda. Biarpun secara resmi peemrintah Hindia Belanda menyatakan perang Aceh berakhir pada tahun 1912, dalam kenyataannya perlawanan rakyat Aceh terhadap Belanda terus berlangsung sampai Perang Dunia II.
Salah Satu Dokumentasi Perang Aceh
Tidak dapat dipungkiri berkembangnya Agama Nasrani tidak bisa lepas dari kedatangan bangsa Barat, ini bukan berarti Agama Nasrani adalah agama imperislis dan kolonialis. Pada prinsipnya kedatangan dan proses penyebarannya sama dengan agama-agama yang pernah ada sebelumnya seperti Hindu, Budha maupun Islam yaitu melalui proses yang damai, teapi dalam waktu-waktu berikutnya terjadi perang antar pemeluk agama karena adanya oknum tertentu yang mempolitisir agama untuk kepentingan politik. Hal ini seharusnya tidak terjadi. Terdapat perbedaan pendapat tentang sejarah awal keberadaan penganut Kristiani di Indonesia. Pendapat pertama menyatakan bahwa sudah terdapat orang beragama Kristiani sebelum kehadiran bangsa Barat di Kepulauan Indonesia, yaitu pada abad ke-7 berdasarkan diketemukannya orang yang beragama Katholik di Barus dan Sibolga. Hal ini diperkuat juga dengan keberadaan penganut Kristiani di Sumatra Selatan, Jawa dan kalimantan pada abad ke-13 dan 14. Sedangkan pendapat kedua menyatakan kehadiran pengaut Kristiani baru ada setelah kehadiran orang Barat. Pendapat ini berpegang pada peristiwa pemandian terhadap penduduk Halmahera pada tahun 1534 dan tahun secara luas dipegang sebagai awal penasranian penduduk di Kepulauan Indonesia.
Suatu hal yang pasti sejak kedatangan Portugis dan Spanyol di Kepulauan Indonesia, proses penyebaran agama Kristen mulai berlangsung. Hal ini dikaitkan dengan motif agama selain ekonomi yang diulakukan oleh kedua bangsa tersebut sebagai imperialisme kuno. Selain Malaka, kepulauan Maluku merupakan salah satu wilayah pertama bersentuhan dengan agama Kristiani, khsusnya Katholik. Raja Ternate bernama Tabarija yang diasingkan Portugis ke Goa pada tahun 1535 dilaporkan memeluk agama Kristiani sejak dipengungsian. Perkembangan agama Katholik semakin pesat sejak rohaniawan Spanyol bernama Francisacus Xaverius yang merupakan pendiri Orde Jesuit bersama Ignatius Loyolo melakukan kegiatan keagamaan di tengah-tengah masyarakat Ambon, Ternate dan Morotai antara tahun 1546-1547.
Kehadiran Belanda di Indonesia merubah peta pengkristenan di wilayah ini. Di Maluku sebagian besar penduduk yang telah beragama Katholik berganti menjadi Calvinis dan VOC melarang misi Katholik melakukan kegiatan kegamaan. Biarpun sampai awal abad ke-19 Belanda sebenarnya tidak secara resmi mendukung kegiatan para penyebar agama Protestan, proses “pengkristenan” penduduk lokal berbagai wilayah di Indonesia tidak dapat dihindari. Pada tahun 1619 Pendeta Hulsebos mendirikan jemaat pertamanya di Jakarta. Sebenarnya pada abad ke-18 di Jakarta sebagaian besar jemaat Kristiani yang berada di bawah gereja Calvinis, akrena bersama-sama orang Katholik kelompok gereja reformasi lainnya seperti Romanstran dan Lutheran juga dilarang.. Gereja Lutheran baru boleh melakukan kegiatan pada tahun 1745 di bawah pengawasan tentara bayaran Jerman.
Memasuki abad ke-19 penyebaran agama Kristiani semakin meluas ke berbagai wilayah di Indonesia. Kelompok misionaris Katholik dari gereja reformasi baik Eropa maupun Amerika mulai berdatangan. Pengangkatan Jacob Grooff sebagai uskup Katholik pertama di Indonesia pada tahun 1845 telah memancing munculnya perdebatan panjang di kalangan pemeluk Kristiani baik di Indonesia maupun Belanda yang memicu konflik antara gereja dan negara. Berdasarkan berdasarkan peratruran yang berlaku sejak tahun 1854 para guru, rohaniawan dan misionaris Kristiani harus memiliki ijin khusus dari Gubernur Jenderal melakukan pekerjaan di wilayah Hindia Belanda. Wilayah Ambon dan sekitarnya menjadi hak eklusif gereja reformasi sampai tahun 1921. Daerah Batak juga menjadi daerah eklusif, mulai kegiatan mereka di Sipirok pada tahun 1861, sementara misionaris Katholik baru diperkenankan masuk di wilayah ini pada tahun 1928. Begitu juga di wilayah Papua yang dikuasai oleh Belanda, jemaat Katholik di Flores dan Timor bagian barat diserahkan kepada Serikat Sabda Allah.
Reff : BSE
0 comments:
Post a Comment